Dalam struktur keluarga, anak pertama kerap digambarkan sebagai tulang punggung kedua setelah orang tua. Ia dituntut menjadi panutan, penjaga adik, bahkan terkadang ikut memikul beban emosional keluarga. Namun, peran ini seringkali tidak diberi ruang untuk diekspresikan, bahkan tak jarang diabaikan.
Menjadi anak sulung bukan hanya soal lahir lebih dulu, tapi juga soal tumbuh lebih cepat dari usia sebenarnya.
Peran yang Sering Tak Terlihat
1. Panutan tanpa pelatihan
Anak pertama otomatis dijadikan contoh, meski belum tentu pernah diberi bimbingan bagaimana menjadi sosok tersebut. Mereka belajar dari trial-and-error, lalu dianggap seharusnya selalu benar.
2. Penjaga emosional rumah
Banyak anak pertama merasa perlu ‘kuat’ agar tidak membebani orang tua. Mereka menyembunyikan stres, kesedihan, bahkan kelelahan—demi menjaga stabilitas suasana di rumah.
3. Orang tua kedua
Tak jarang, si sulung menggantikan posisi orang tua saat orang tua sibuk. Mulai dari menjaga adik, bantu tugas rumah, sampai menjadi tempat curhat bagi anggota keluarga lainnya.
Tips untuk Orang Tua dan Keluarga
Jangan anggap anak pertama selalu baik-baik saja. Dengarkan keluh kesahnya tanpa menyuruhnya ‘sabar’ atau ‘ngerti’.
- Beri Apresiasi, Bukan Tuntutan
Gantilah kalimat “Kamu harus jadi contoh” dengan “Terima kasih sudah membantu, kamu luar biasa.”
- Izinkan Mereka Jadi Anak-Anak Juga
Beri ruang bagi si sulung untuk bersantai, bermain, dan melakukan hal yang seusia mereka lakukan—tanpa selalu dibebani tanggung jawab.
- Libatkan Semua Anak Secara Adil
Tanggung jawab di rumah bisa dibagi secara merata. Jangan selalu bergantung pada anak pertama untuk urusan adik atau rumah.
Menjadi anak pertama adalah tanggung jawab besar yang sering tidak diminta. Maka dari itu, penting bagi keluarga untuk menciptakan ruang yang adil dan penuh dukungan. Karena anak pertama pun butuh merasa dipahami, didengar, dan dicintai tanpa syarat.
Artikel ini dipersembahkan oleh
mohondatang.com – untuk undangan digital penuh makna dan momen tak terlupakan.